![]() |
Foto: Henk Snef Liethh |
Memasuki puncak
musim kemarau, warga desa Kokotobo di kecamatan Adonara Tengah mulai kesulitan
air. Kebutuhan air yang dipasok dengan jaringan pipa dari desa Nimun Danibao
tidak lagi terpenuhi. Keran air mengering karena debit sumber mata air tidak
mencukupi.
Warga pun
beralih ke sumber air dari desa setempat, yaitu wai Kuyo yang terletak hampir
dua kilometer di utara. Sumber air ini tetap mengalir di musim kemarau. Tetapi
letak mata air ini lebih rendah dari
letak desa.
Untuk kebutuhan
mandi dan cuci, warga mendatangi sumber air ini. Sementara untuk kebutuhan
masak dan minum, mereka harus membawa air dari sana. Jarak yang mesti ditempuh
sejauh 1.9 kilometer.
Selain mengambil
langsung dari sumber air, warga setempat pun dapat memanfaatkan layanan air
bersih yang dipasok dari mobil dump truck. Tetapi mereka harus merogoh kocek
dalam-dalam karena harga air terbilang cukup mahal.
"Untuk satu
kemasan matex (30 liter) dibayar seharga sepuluh ribu rupiah," ungkap
Suban Kia, Warga Kokotobo di akun medsosnya. Harga yang sama dipatok untuk
setiap tiga jerry can masing-masing sepuluh liter, demikian tuturnya.
Penetapan harga
ini hampir menyamai harga air dalam kemasan galon yang dipatok lima ribu rupiah
per galon (19 liter). Harga air dari dump truck ini kalau dihitung per liternya
mencapai Rp. 333.- Maka total harga air per kubik menjadi Rp 333.000.- Sebagai perbandingan,
tagihan air PAM di perkotaan tidak lebih dari sepuluh ribu rupiah setiap meter
kubik.
"Bisa-bisa
kami sebagai warga bekerja mendapatkan uang hanya untuk membeli air ini
saja," demikian pungkas Suban. (Teks: Suban Kia, Edit: Simpet)